lelaki Gagah

lelaki Gagah
kenangan saat si Karang Sembung

Jumat, 19 Februari 2010

Peluang Untuk Breprestasi

PELUANG UNTUK BERPRESTASI Bangsa yang maju adalah bangsa yang warga negaranya mempunyai sikap positif dan berupaya merebut peluang untuk berprestasi. Untuk dapat mengejar prestasi , maka sikap positif perlu ditanamkan. Salah satu syarat untuk merebut peluang berprestasi adalah adanya tekad dan kemampuan untuk memajukan bangsa ini. Salah satu faktor terpenting yang mendukung peluang tersebut adalah menguasai keunggulan dalam bidang pendidikan. Pendidikan di Indonesia memang tergolong masih di bawah rata-rata dibanding dengan negara-negara maju , seperti Jepang, Singapura, Jerman, Inggris dan lain sebagainya. Kita sebagai penduduk Indonesia tentu tidak ingin mendengar ataupun melihat berita yang hampir setiap hari menayangkan tentang sulitnya mendapat pendidikan yang layak, seperti yang terjadi pada daerah yang terpencil atau yang baru tertimpa musibah. Hal itu dikarenakan kurangnya campur tangan pemerintah dalam menangani masalah yang berkepanjangan ini. Sejak dahulu, kita selalu diceritakan bahwa Indonesia ini negeri yang kaya raya, negeri yang makmur, namun hal itu hanya menjadi lips service semata karena hampir 36 juta jiwa rakyat kita berada di bawah garis kemiskinan. Suatu hal yang ironis bagi sebuah negeri yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah serta sumber daya manusia yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Akhirnya cerita-cerita tentang kekayaan bangsa ini hanya menjadi sebuah mitos bagi rakyatnya. Padahal salah satu tujuan dibentuknya negara ini adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Beberapa rezim pemerintahan silih berganti mengelola negeri ini, namun tak satu pun yang membawa perubahan berarti terhadap nasib rakyat. Secara terbalik, mereka justru mengeksploitasi negara ini untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Terutama pada saat Orde Baru, dengan developmentalism serta trickle down effect-nya, membawa bangsa ini pada keterpurukkan yang lebih mendalam, semisal utang luar negeri yang besar hingga mengakibatkan tenaga kerja yang dibayar murah plus pendekatan keamanan yang represif. Belum lagi masalah korupsi serta konglomerasi yang menjadikan Indonesia menjadi milik segelintir orang, bukannya rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah atas bangsa ini. Permasalahannya bukan terletak pada bangkrut atau tidaknya negeri ini, namun lebih pada masalah keberpihakan penguasa terhadap segelintir orang dalam distribusi aset ekonomi. Jika kita bangkrut, tidak mungkin mobil-mobil mewah berkeliaran di sana-sini, tidak mungkin tingkat konsumsi masyarakat tetap tinggi (bahkan cenderung mengarah pada konsumerisme). Jadi kita belum “bangkrut” namun kita terjebak pada kesenjangan yang begitu berlebihan antara si kaya dan si miskin yang akhirnya mengarah pada free fight liberalism. Artinya permasalahan utamanya terletak pada konstruksi budaya masyarakat kita yang mempunyai fungsi komunal yang rendah dibandingkan fungsi individual. Karena menurut F. Fukuyama, mengutip perkataan Adam Smith dalam Bukunya The Theory of Moral Sentiments bahwa kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam dalam kehidupan sosial, dan ia tidak bisa dipahami secara terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan sosial masyarakat dimana proses ekonomi itu terjadi Artinya berhasil tidaknya ekonomi suatu bangsa, ditentukan juga oleh modal selain alam, alat atau manusia secara individual, yaitu modal sosial. Modal yang merupakan suatu bagian dari Human Capital yang merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama berbagai kelompok dan Organisasi juga mencakup norma-norma dan nilai-nilai bersama. Apakah Indonesia memiliki modal sosial yang berguna dalam proses ekonomi? Banyak pendapat tentang hal ini, misalnya Soekarno menganggap Gotong Royong sebagai modal bangsa atau Kekeluargaan sebagai Asas Koperasi Indonesia. Namun kesemuanya sangat debatable. Namun sebagai sebuah usaha pencapaian kondisi ekonomi yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia, tampaknya kita perlu mencari landasan kultural apa yang dapat mengakomodir maksud di atas. Bagaimana meningkatkan prestasi di bidang pendidikan kalau para pemimpin kita sendiri hanya mengutamakan kepentingan mereka sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Sudah tidak asing lagi Indonesia merupakan negara urutan ke-2 yang terkenal dengan prestasinya di bidang pemerintahan yaitu KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Untuk mengatasi hal itu, Indonesia dengan tanggap langsung membentuk badan yang bertugas memberantas korupsi yang disebut KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Yang bertindak sebagai KPK adalah semua warga negara yang menemui kasus tersebut harus melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Namun tetap saja korupsi masih terjadi di sana-sini. Pada awal abad XXI ini, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Pada saat ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol, seperti : (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan penduduk ataupun antargender. Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Hal itu tercermin dalam hal kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan masih belum tercapai dengan baik. Kebutuhan akan intensitas pengetahuan atau pendidikan pada tiap masyarakat tentu berbeda. Pada masyarakat sederhana, segala pengetahuan dan keterampilan seseorang cukup didapat atau diperoleh dari keluarga atau kerabatnya. Dalam tataran ideologis, sebagai sistem nilai nasional kita sering dikumandangkan semboyan "persatuan dan kesatuan", sebagai acuan kebudayaan. Pandangan itu tampak terlalu menyederhanakan persoalan dan mengabaikan kenyataan yang dihadapi. Pandangan ini merepresentasikan cara pandang warisan kolonialisme dan imperialisme dagang yang berbunyi "integrasikan dan kelolalah". Bukanlah dalam mempersatukan kepulauan-kepulauan di Indonesia ini di bawah hegemoninya, proses yang makan waktu sekitar dua ratus tahun, Belanda mengubah keragaman kompetitif menjadi keragaman hierarkis yang di situ Jawa teratas . Bangsa Indonesia memiliki sikap yang positif terhadap peluang untuk berprestasi. Hal ini terbukti dengan telah ditetapkannya tujuan negara yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945, alinea keempat, sebagai berikut :(1) Melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;(2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam tujuan negara tersebut bila diperhatikan ternayata merupakan sikap dan tekad bangsa Indonesia untuk merebut prestasi dalam berbagai bodang demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bagaimana mengimplementasikan tujuan tersebut dalam berbagai aktivitas sehingga menjadi kenyataan. Untuk mengimplementasikan hal tersebut bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tugas dan kewajiban seluruh bangsa Indonesia. Wacana politik atas nama persatuan dan kesatuan digunakan efektif di masa lalu. Persatuan dan kesatuan dijadikan ideologi untuk meredam kemajemukan kelompok, budaya, bahasa, ras dan struktur sosial, serta juga kedalaman kesenjangannya. Semua itu merupakan upaya menafikan perbedaan, kebanggaan dan persaingan budaya yang dinamis, yang dipandang dapat merintangi pembangunan serta meruntuhkan persatuan dan kesatuan. Untuk merebut peluang untuk berprestasi, digunakan suatu pendekatan yang disebut Pendekatan multikultural. Model pembelajaran multikultural menawarkan pendekatan dengan menekankan pentingnya pluralisme sosial, keragaman budaya, etnik, dan kontekstualisme. Implementasi pendekatan ini menegaskan hal-hal sebagai berikut: pandangan sosio-antropologis menjadi dasar mengkaji karya seni dan pengalaman budaya dari pembuat atau penciptanya. Artinya, memusatkan perhatian terhadap pengetahuan pembuat atau pencipta seni sama baiknya dengan pemahaman terhadap konteks sosio-budayanya. Oleh karena itu, mengajar seyogianya dipandang sebagai intervensi sosial dan budaya. Dengan demikian dalam setiap upaya pengajaran guru tidak hanya mempertentangkan, tetapi secara konsisten menyadari bias sosial-budayanya. Dalam pendekatan multikultural, proses pendidikan dipusatkan pada siswa atau komunitas tertentu, yang memungkinkan guru memahami keyakinan serta nilai-nilai sosio-budaya siswa dalam konteks kebudayaan masyarakat ketika merancang model pembelajarannya. Disarankan menggunakan metode-metode bersifat antropologis untuk mengidentifikasi kelompok sosio-budaya, nilai-nilai serta praktiknya yang mempengaruhi proses berkaryanya. Pendekatan itu juga menyarankan mengidentifikasi penggunaan pendidikan yang tanggap budaya, yang secara lebih tegas dapat menunjukkan perbedaan etnik dan sosio-budaya di kelas, masyarakat, dan nasional. Dengan demikian, disarankan untuk memusatkan perhatian pada kompleksitas dinamis dari berbagai faktor yang mempengaruhi interaksi manusia agar mendapatkan prestasi yang didinginkan, seperti fisik, mental, kemampuan, kelas, jender, usia, politik, agama, dan etnisitas. Langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembangkan model pembelajaran multikultural sebagai berikut: (1) Guru memperbaiki sikap negatif yang mereka mungkin miliki terhadap pluralisme sosial, keagamaan, dan etnis. (2) Guru dan siswa melakukan analisa situasi agar akrab dengan masyarakat. (3) Guru dan murid memilih materi yang relevan dan sekaligus menarik. (4) Guru dan murid, bersama-sama, menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan materi yang dipilih. Dalam hal ini, disarankan mengindentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan agama, suku, kehidupan ekonomi, kemampuan, mental serta fisik. Pendekatan multikultural, dapat dipahami sebagai sistem, teori, metode dan pendekatan yang mendasari dan mempengaruhi cara pikir, pandang, dan cara mengerjakan sesuatuPendekatan multikultural kesenian tidak dipandang sebagai masalah karya atau desainnya semata-mata, melainkan secara sistemik berkaitan dengan (1) sistem nilai yang menjadi acuan penciptaan, (2) kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder, dan budaya warga pencipta dan penikmat, (3) sumber daya lingkungan alam-fisik dan sosial budaya yang digunakan dan dapat dimanfaatkan. (4) Pranata-pranata yang ada yang mampu memberi perlindungan bagi penciptaan karya seni, dan (5) individu-individu yang secara potensial mampu melestarikan dan meningkatkan mutu kesenian yang dapat menjadi kebanggaan diri maupun budaya yang lebih luas. Sudah 60 tahun Indonesia bebas dari penjajahan, tetapi sampai saat ini Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : (1) perkembangan arus globalisasi yang semakin maju; (2) kualitas SDM yang masih rendah; (3) potensi SDA yang kurang terkelola dengan baik; (4) sikap yang dimiliki orang Indonesia, seperti malas mengadakan change, menggantungkan diri pada kekayaan yang dimiliki orang tua, tidak disiplin dan kurangnya rasa tanggung jawab terhadap bangsa. Keberhasilan seseorang dalam mencapai dan meraih prestasinya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, melainkan perlu perjuangan yang sangat keras dan memakan waktu yang panjang. Biasanya seseorang selalu mencoba bertahan dalam berbagai tantangan dan kesulitan hidupnya dan terus berudaha untuk mencapai hal yang terbaik atau prestasi terbaiknya. Sikap tersebut hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang menyadari bahwa prestasi tidak akan dating dengan sendirinya, melainkan perlu perjuangan yang keras. Di samping itu, orang tersebut harus mampu menangkap peluang . Sehingga orang tersebut mempunyai keberanian untuk menganggap bahwa prestasi yang gemilang merupakan suatu tantangan yang harus diwujudkan. Ada tiga sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang mempunyai keinginan untuk memanfaatkan setiap peluang dan tantangan untuk berprestasi, yaitu sikap positif terhadap peluang untuk berprestasi, siap berkompetisi yang sehat dan mempunyai semangat untuk berprestasi.